Sekolah dan kelas semestinya jadi tempat anak-anak belajar berbaur, berbagi, dan menghormati anak-anak lainnya sebagai upaya membangun masyarakat multikultural. Untuk itu, sekolah janganlah elitis dan menguatkan pembagian kelas sosial, tetapi perlu mendorong pendidikan inklusif.
Sekolah di abad ke-21 perlu membekali siswa dengan keterampilan yang sangat vital, yakni hidup dalam masyarakat multikultural yang jadi modal untuk mampu hidup damai dengan orang lain. Karena itu, kesadaran perbedaan agama, suku, bahasa, dan ras seharusnya tidak dibuang dari kelas. Sebaliknya, perbedaan justru harus diakui dan dirayakan.
Pendidikan damai dalam masyarakat multikultural menjadi perhatian UNESCO dalam merespons masih berkecamuknya konflik dan perang di berbagai belahan dunia. Pendidikan di sekolah dan kelas diyakini bisa jadi contoh terdepan untuk menunjukkan sikap toleransi, saling menghormati, dan hidup damai dengan orang lain.
Dirjen UNESCO Irina Bokova mengatakan, suatu negara tidak dapat menciptakan dasar-dasar abadi untuk perdamaian kecuali jika menemukan cara-cara untuk membangun kepercayaan yang saling menguntungkan antarwarganya. ”Tempat untuk memulainya, yakni di dalam ruang kelas,” kata Bokova.
Pendidikan mestinya berpotensi sebagai kekuatan untuk mendorong perdamaian. Namun, masih banyak praktik pendidikan yang keliru. Sekolah justru digunakan untuk menguatkan pembagian kelas sosial, intoleransi, dan prasangka yang mendorong pada perang.
Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, di Jakarta, Minggu (6/3/2011), mengatakan, pendidikan yang sebaiknya dikembangkan adalah yang inklusif. Namun, di Indonesia, pembagian sekolah-sekolah mulai dari sekolah reguler, sekolah standar nasional, sekolah mandiri/unggulan, hingga rintisan sekolah bertaraf indernasional (RSBI/SBI) justru menegaskan pembagian kelas sosial masyarakat.
”Siswa miskin dan kaya di negeri ini mendapatkan layanan dan akses pendidikan yang dibeda-bedakan. Kondisi ini dapat memicu gesekan sosial karena ketidakadilan dan kecemburuan sosial,” kata Darmaningtyas.
Jika anak-anak muda sulit mengakses pendidikan dasar berkualitas, mereka bisa terjerumus dalam kemiskinan, pengangguran, dan putus asa sehingga mudah direkrut untuk konflik. Pendidikan yang tidak sama berinteraksi dengan kesenjangan yang lebar bisa mempertinggi konflik.
Sistem pendidikan yang tidak membekali anak muda dengan keahlian untuk keluar dari kemiskinan, pengangguran, dan kemerosotan ekonomi sering memicu konflik kekerasan.
Pengamat pendidikan, HAR Tilaar, mengatakan, masyarakat multikultural mestinya tidak asing di Indonesia. Justru negara ini bisa jadi contoh bangsa yang menerima perbedaan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ikanya. ”Tapi masalahnya semangat itu semakin hilang dari masyarakat, termasuk generasi muda sekarang. Kita harus bisa membangkitkannya kembali sebagai kekuatan bangsa ini,” ujar Tilaar.
UNESCO menyerukan supaya semua bangsa tidak mengunci potensi pendidikan untuk bertindak sebagai kekuatan perdamaian. Perlu dibentuk masyarakat yang secara mendasar punya sikap toleran, saling menghargai, dan berkomitmen untuk berdialog. Sikap-sikap ini seharusnya secara aktif ditumbuhkan di kelas-kelas setiap hari di seluruh dunia. Jangan menggunakan sekolah untuk jadi kendaraan mengembangkan kefanatikan, sikap patriotik yang berlebihan (chauvinism), dan tidak menghargai orang lain. Hal itu tidak boleh terjadi di pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar