DESAKAN HENTIKAN RSBI MENGUAT

Rabu, 09 Maret 2011

Desakan kepada pemerintah untuk menghentikan rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) di Indonesia semakin menguat. Dukungan untuk menghentikan praktik RSBI/SBI itu mulai datang dari Komisi X DPR.
Hal itu terungkap dalam pertemuan Ikatan Guru Indonesia (IGI) dengan sejumlah anggota Komisi X DPR di Jakarta, Selasa (8/3/2011). Pada kesempatan ini, IGI yang merupakan organisasi guru dengan fokus memberdayakan guru secara mandiri menyampaikan Petisi Pendidikan tentang SBI.

Ketua Umum IGI Satria Dharma mengatakan, RSBI/SBI justru akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Masyarakat akan merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program tersebut.

Seperti yang juga diberitakan di Kompas.com, Selasa (8/3/2011), Satria mengatakan, janji RSBI/SBI sebagai sekolah berkelas dunia, dengan segala sistem manajemen, mutu guru, sarana, infrastrukturnya, dan kriterianya, tidak akan bisa dipenuhi. Program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya, dan 90 persen pasti gagal.

"Di luar negeri, konsep ini gagal dan ditinggalkan," kata Satria.

Itje Chotidjah, guru yang sering diminta mengajari guru-guru SBI belajar bahasa Inggris, merasa sedih dan prihatin.

"Guru-guru SBI itu hanya belajar bahasa Inggris dalam lima hari dan mereka disuruh mengajar materi pelajaran dalam bahasa Inggris," ujar Itje.

Ketua Dewan Pembina IGI Ahmad Rizali menambahkan, pemerintah mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL lebih dari 500. Padahal, tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris.

"TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogi," kata Rizali.

Pengutamaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga memprihatinkan. Padahal, di Jepang, China, dan Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya memiliki kualitas dunia.

Tidak efektif

Soal bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah-sekolah yang ternyata tidak efektif, termasuk di Indonesia lewat program RSBI/SBI, telah dikaji British Council. Simposium dilaksanakan selama dua hari mulai Rabu (9/3/2011) ini.

"Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris, perkuat bidang studi bahasa Inggris dan bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan," papar Satria.

Dampak yang paling terasa dengan kebijakan RSBI/SBI adalah terciptanya diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan sehingga menjadi sangat komersial. Satria mengatakan, komersialisasi pendidikan inilah yang kita tentang karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah.

Anggota Komisi X, Dedi S Gumelar, mengatakan, pada program RSBI/SBI dianggap banyak terjadi penyimpangan di masyarakat. Padahal, selama ini ada banyak sekolah baik dengan kualitas siswa berkelas dunia tanpa harus dilabel sebagai sekolah internasional.

"SBI harus dikoreksi. SBI hanya menjadi market label. Subtansinya tidak memiliki mutu berkelas internasional," ujar Dedi.

Secara terpisah, dalam rapat kerja nasional Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta Indonesia (ALPTKSI) juga mendesak penghentian RSBI/SBI. Program ini akan membuat pendidikan kita disfungsional dan mengancam aspek paling strategis dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, yaitu sumber daya kepemimpinan nasional.

"Dengan menetapkan standar internasional, sesungguhnya kita diperbudak oleh kekuatan global yang memaksa kita memandang keluar (outward looking) dan mengabaikan berbagai kepentingan nasional. Dunia pendidikan harus melayani apa yang menjadi kebutuhan stakeholder-nya. Akibat kebijakan ini akan membuat upaya pendidikan kita semakin tak nyambung dengan kebutuhan," kata Ketua ALPTKSI Sulistiyo.


READ MORE - DESAKAN HENTIKAN RSBI MENGUAT

JANGAN ASAL "COMOT" KURIKULUM ASING

Ilustrasi: Sebuah kurikulum pendidikan suatu negara pasti berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik di negara tersebut sehingga kurikulum yang disusun dapat mengembangkan sumber daya manusia di negara itu.

Kurikulum yang tidak terstruktur dengan baik dan kualitas guru yang memprihatinkan menjadi dua hal esensial yang menghambat pemerintah dalam mewujudkan program sekolah bertaraf internasional di Indonesia. Program rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) perlu dikaji ulang. 
Demikian dikatakan Education Advisor British Council Indonesia Itje Chotidjah di acara "EBE Symposium on The RSBI/SBI system in Indonesia: Policy and Practice", Rabu (9/3/2011), di Jakarta. Simposium yang membahas tentang evaluasi perjalanan program rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) tersebut berlangsung sampai Kamis (10/3/2011).

"Menurut pengamatan saya kurikulum pendidikan yang tidak tersusun dengan baik dan kualitas guru yang memprihatinkan adalah dua hal yang menyulitkan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan berstandar internasional," kata Itje.

Dia mengungkapkan, sebuah kurikulum pendidikan suatu negara pasti berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik di negara tersebut. Sehingga, tambah Itje, kurikulum yang disusun dapat mengembangkan sumber daya manusia di negara tersebut.

"Indonesia harus seperti itu. Jangan mencomot kurikulum dari negara lain," ujar Itje.

Ia menambahkan, sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan manusia tanpa dilandasi suatu riset yang kuat, itu sama artinya seperti menunggu "bom waktu".

"Karena tidak mempunyai kurikulum nasional. Kita hanya punya standar kompetensi dan kompetensi dasar yang kemudian diserahkan ke sekolah untuk acuan kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP," ungkapnya.

"Apa jadinya dunia pendidikan kita, jika kurikulum yang tidak terstruktur secara baik ditambah kurikulum yang diadopsi dari negara lain?," ujar Itje.
READ MORE - JANGAN ASAL "COMOT" KURIKULUM ASING

Subardini Bariel, S.Si, M.M.. Diberdayakan oleh Blogger.